KAPOLRI PERTAMA
RS Soekanto Tjokrodiatmodjo
Kapolri Pertama [ 29 Sept 1945 - 14 Des 1959 ]
Raden
Said Soekanto Tjokrodiatmodjo merupakan Kepala Kepolisian Negara (KKN)
yang pertama. Sekarang lebih dikenal dengan nama Kepala Kepolisian
Republik Indonesia (Kapolri). Ia lahir pada tanggal 7 Juni 1908 di
Kampung Sawah, Bogor, Jawa Barat. Ia lahir dari pasangan Raden Ngabehi
Martomihardjo (Jawa) dan Raden Ajeng Kasmirah (Sunda). Ayahnya merupakan
seorang Asisten Wedana di daerah Jasinga, Bogor. Soekanto merupakan
putra pertama dari enam bersaudara, yakni Roro Soejati, Roro, Soenarto,
Raden Soelaeman Soejadi, Roro Soebandinah, dan Raden Mochamad Soemantri.
Masa
kecil Soekanto diwarnai suasana disiplin. Hal itu dikarenakan jabatan
ayahnya yang merupakan seorang pamong praja. Sebagai anak seorang
priayi, Soekanto tidak kesulitan dalam menempuh pendidikan formal. Pada
umur 5 tahun, ia masuk Frobel School (Sekolah Taman Kanak-Kanak
Belanda). Dua tahun kemudian, ia melanjutkan ke Sekolah Rakyat Belanda
(setingkat dengan Sekolah Dasar), yakni Europeesche Lagere School (ELS)
di Tangerang hingga kelas II, kemudian melanjutkan lagi di ELS Bogor
hingga tamat sekolah dasar. Di sekolah, Soekanto merupakan murid yang
cerdas, pendiam, disiplin, berjiwa keras, dan konsisten. Di luar
pendidikan formal, ia juga menjalani pendidikan informal, yaitu
pendidikan agama dari guru ngajinya yang bernama Ustad Mansyur. Setamat
dari ELS, Soekanto melanjutkan pendidikannya di Hoogere Burger School
(HBS) di Bandung. Pendidikan HBS di Bandung hanya sampai kelas II.
Kemudian ia pindah ke HBS Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya di
tingkat III. Dari tempat tinggalnya di Bogor, ia biasa bersekolah
menggunakan kereta api menuju Jakarta. Tak lupa ia membawa sepeda
kesayangannya yang bermerk “Fongers”. Pendidikan HBS yang seharusnya
ditempuh dalam waktu lima tahun, terpaksa ditempuh lebih lama karena
pada saat ujian akhir ia tidak lulus. Banyak hal yang membuat dia tidak
lulus, seperti faktor kelelahan fisik karena pulang pergi Bogor –
Jakarta dan banyaknya kegiatan di luar sekolah. Akhirnya Soekanto
menamatkan HBS pada tahun 1928. Setelah lulus HBS, Soekanto berkeinginan
masuk Sekolah Tinggi Pertanian di Belanda. Tapi, karena kesulitan biaya
akhirnya tidak jadi. Maka, ia memutuskan untuk meneruskan ke Recht
Hooge School (RHS), yaitu Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta. Selama kuliah
ia menjalaninya tidak dengan sepenuh hati. Selain karena biayanya yang
mahal, ia menyadari kekurangan dirinya dalam bidang akademis. Akhirnya,
Soekanto memutuskan keluar dari RHS pada tahun 1929. Saat itu ia baru
mencapai tingkat II.
Setelah
keluar dari RHS, pada tahun 1929, ia mengajukan lamaran ke Sekolah
Aspiran Komisaris Polisi. Akan tetapi, lamaran itu ditolak dan ia malah
ditawarkan untuk mengikuti pendidikan Hoofd Agent (kursus agen polisi).
Tawaran itu ditolak Soekanto. Setahun kemudian, Soekanto menerima
telegram bahwa ia dipanggil untuk mengikuti pendidikan Sekolah Aspiran
Komisaris Polisi (Aspirant Commisaris Van Politie). Hal itu sangat ia
syukuri karena pada saat itu sulit rasanya bagi orang pribumi untuk
masuk ke sekolah tersebut. Soekanto merupakan siswa Angkatan VIII. Lama
pendidikan yang harus ditempuh selama 3 tahun dan tiap tahun ada
kenaikan tingkat tanpa kenaikan pangkat. Tahun pertama dilalui dengan
lancar. Ketika naik ke tingkat II, Soekanto melangsungkan pernikahan. Ia
menikah dengan Hadidjah Lena Mokoginta pada tanggal 21 April 1932 di
sebuah bungalow di daerah Selabintana, Sukabumi. Pernikahan itu menambah
semangat dia untuk segera menamatkan pendidikannya. Sebelum lulus,
Soekanto menjalani praktek selama 2 tahun di kantor kepolisian
Jatinegara. Pada tanggal 1 Agustus 1933, Soekanto berhasil menamatkan
pendidikannya dengan pangkat Komisaris Polisi Kelas III.
Tugas
pertama Soekanto berdasarkan Keputusan Directur van Binnenlandsch
Bestuur Nomor 2/73/10 adalah di Stads Politie (Kantor Besar Polisi)
Semarang. Ketika bertugas di Semarang, ia berhasil menyelesaikan sebuah
kasus pembunuhan. Atas keberhasilannya, Soekanto mendapat penghargaan
sebagai polisi yang cekatan dalam melaksanakan tugas dari Hoofd
Commisaris. Selama bertugas di Semarang, Soekanto berkenalan dengan
Soemarto (seniornya di Sekolah Aspiran Komisaris Polisi Sukabumi).
Soekanto bertugas di Semarang hanya sekitar satu setengah tahun.
November 1934, ia pindah ke Purwokerto. Di sini tugas ia mengawasi
kegiatan kantor-kantor polisi yang berada di Karesidenan Purwokerto.
Selama bertugas di Purwokerto, tidak ada kasus penting yang diselesaikan
Soekanto, hanya kejahatan-kejahatan kecil. Ia mendapat kenaikan pangkat
menjadi Komisaris Polisi Kelas II. Tahun 1938, Soekanto kembali
bertugas di Semarang. Ketika bertugas di Semarang, masalah yang dihadapi
semakin kompleks. Selain kejahatan yang intensitasnya makin tinggi,
masalah politis juga dihadapi Soekanto. Sehubungan dengan meletusnya
Perang Dunia II, Soekanto diperintahkan oleh pemerintah Hindia Belanda
untuk menangkap orang-orang Jerman dan Jepang yang dicurigai sebagai
mata-mata. Tahun 1940, Soekanto dipindahtugaskan ke daerah Banjarmasin,
Kalimantan. Di sana ia menjabat sebagai Wakil Kepala Polisi Banjarmasin
dan Ajunct Technisch Leider der Veldpolitie di Karesidenan Kalimantan
Selatan dan Timur. Dua tahun bertugas di Kalimantan, tepatnya Januari
1942, tentara Jepang mulai masuk ke Indonesia. Ketika Jepang menduduki
Kalimantan, Soekanto tetap menjalankan tugasnya di sana. Sedangkan
pimpinannya Kepala Polisi Groen meninggalkan Kalimantan bersama para
anggota keluarga aparatur pemerintah Belanda, termasuk keluarga
Soekanto. Ia bertugas mengumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang
keadaan yang terjadi dan mengumpulkan senjata-senajata yang masih ada.
Lalu ia diwajibkan melaporkannya kepada Komandan Militer di muara Sungai
Barito. Soekanto kemudian diajak komandan militer ke Jawa sebagai saksi
untuk membuktikan bahwa keadaan Kalimantan pada waktu itu memang harus
ditinggalkan.
Sumber, museum.polri.go.id
“BAPAK POLISI INDONESIA” YANG JUJUR ITU TELAH TIADA
TEMBAKAN salvo meletus memecah keheningan di pemakaman Tanah
Kusir, Rabu siang (25/8/1993). Bendera merah putih yang menyelubungi peti
mati, dipegang oleh empat perwira tinggi dari AD, AL, AU, dan Polri
pelan-pelan diangkat. Tepat pukul 13.08, jenazah yang terbungkus
kain kafan putih dalam peti, dipindahkan ke liang kubur dan
akhirnya bersatu dengan tanah merah.
Maka bersatulah jasad Jenderal Polisi (Purn) Raden Said
Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kepala Kepolisian Negara (KKN) pertama
dengan istri tercintanya, Ny Hadidjah Lena Soekanto-Mokoginta yang
meninggal lebih dulu pada 1 Maret 1986. Meskipun Soekanto memiliki
Bintang Mahaputra Adiprana kelas II yang artinya berhak dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kalibata, namun ia sudah memberi wasiat
kepada keluarganya agar jika ia meninggal dunia, hendaknya
dimakamkan satu lubang dengan jasad sang istri terkasih.
Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo memang telah tiada. “Bapak
Polisi Indonesia” ini meninggal dunia dengan tenang pada usia 85
tahun di RS Polri Kramatjati Jakarta Timur, Selasa malam (24/8)
pukul 23.38 WIB, setelah sekitar empat bulan dirawat di sana karena
sakit. Ia meninggalkan seorang putri, Ny Umi Khalsum Arimbi dan dua
orang cucu, Nanda dan Mena.
Sebelum dimakamkan, jenazahnya disemayamkan satu setengah jam
di Gedung Utama Mabes Polri di Jl Trunojoyo Jaksel –gedung markas
Polri yang diresmikan Soekanto pada 17 Agustus 1952 silam–, saat ia
masih menjabat Kepala Kepolisian Negara.
***
SOEKANTO adalah potret polisi yang “langka” untuk ukuran masa
kini. Ketika menjabat KKN (1945-1959), ia dikenal sebagai orang
jujur dan sederhana. Bahkan sampai akhir hayatnya pun, peletak
dasar-dasar kepolisian ini hanya memiliki sebuah rumah sederhana di
Kompleks Polri Ragunan, Pasarminggu, Jaksel. Ketika pensiun,
Soekanto bahkan tinggal di rumah sewa di Jl Pengangsaan Timur No 43
Jakpus.
Yang menjadi “obat” bagi pihak keluarga –seperti diungkapkan
wakil keluarga di pemakaman Tanah Kusir–, penghormatan seluruh
jajaran Polri terhadap Almarhum Soekanto sangat mengharukan. Ratusan
pelayat termasuk sejumlah mantan Kapolri dan pejabat tinggi Polri,
hadir di Tanah Kusir, memberi penghormatan terakhir kepada Almarhum
Soekanto. Antara lain mantan Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian RI
Soetjipto Danoekoesoemo (1963-65), mantan Kapolri Hoegeng Iman
Santoso (1968-1971), Mohammad Hasan (1971-1974), Awaloedin Djamin
(1974-1978).
“Soekanto orang paling sederhana. Lihatlah, ketika meninggal,
ia tidak punya apa-apa. Padahal ia berkuasa sebagai Kepala
Kepolisian Negara selama 15 tahun. Dia tak ada duanya. Disegani dan
memiliki kharisma yang besar terhadap semua jajaran Polri. Soekanto
pantas disebut sebagai Bapak Kepolisian Indonesia,” komentar mantan
Kapolri Jenderal Pol (Purn) Awaloedin Djamin yang pernah menjadi
Sekretaris Soekanto (1955-1959).
Bersama-sama dengan Prof Djoko Soetono SH, Prof Supomo, dan
Sultan Hamengkubuwono IX, Soekanto mendirikan Akademi Polisi di
Mertoyudan dan akhirnya menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
(PTIK) di Jakarta. Ide dasar lembaga pendidikan polisi ini untuk
menciptakan polisi yang pandai, modern, tanggap pada kemajuan zaman.
Selain itu Soekanto memprakarsai pembentukan Brigade Mobil
(Brimob), pasukan khusus Polri dan mendirikan pusat pendidikan
Brimob di Porong, serta Satuan Polisi Perairan dan Udara. Salah satu
kasus besar yang pernah diungkapnya adalah jatuhnya pesawat RRC,
Kashmir Princess di Natuna, masa Afro-Asia.
Pembangunan gedung Mabes Polri yang diresmikannya tahun 1952,
adalah prakarsa dia. Gedung di Jl Trunojoyo yang sampai sekarang
masih digunakan sebagai Markas Besar Polri ini merupakan gedung
dengan kerangka besi pertama di Indonesia. Ia juga memprakarsai
pembangunan Wisma Bhayangkari dan rumah dinas KKN.
Motto Polri, Tri Brata dan Catur Prasetya, yang diciptakan
Prof Djoko Sutono SH, digunakan dan diresmikan tahun 1955 ketika
Soekanto menjadi KKN. Soekanto pernah mengirimkan perwira Polri
dalam jumlah besar-besaran untuk belajar kepolisian di Amerika
Serikat. Termasuk di antaranya Hoegeng Iman Santoso, Awaloedin
Djamin, Mohammad Hasan, Widodo Budidarmo, yang semuanya menjadi
Kapolri.
Soekanto juga dikenal sebagai Bapak Orhiba (Olah Raga Hidup
Baru), modifikasi yoga. Dengan Orhiba inilah, Soekanto membuktikan
dapat bertahan hidup dengan fisik yang kuat sampai usia 85 tahun.
Said Soekanto diangkat KKN pada 29 September 1945 oleh Presiden
RI Sukarno. Ketika Februari 1946, pusat pemerintahan RI pindah ke
Yogyakarta, markas kepolisian negara pindah ke Purwokerto. Juli
1949, Soekanto yang saat itu ada di New York, diperintahkan oleh
Wapres Mohammad Hatta ikut menghadiri Konfrensi Meja Bundar (KMB) di
Belanda.
Setelah penyerahan kedaulatan RI akhir 1949, ia diangkat jadi
Kepala Kepolisian RIS. Tahun 1950, kembali menjadi KKN. Bulan Juli
1957, Soekanto menjabat Menteri Muda Angkatan Kepolisian RI dan
pensiun pada 31 Desember 1959 dengan pangkat pangkat terakhir
Komisaris Jenderal Polisi atau Letnan Jenderal. Tahun 1968, Soekanto
dinaikkan pangkatnya jadi Jenderal Polisi Purnawirawan, dan pada
Agustus 1973, ia diangkat sebagai anggota DPA-RI
***
KAPOLRI Letjen (Pol) Banurusman Astrosemitro, inspektur upacara
pada pemakaman militer di Tanah Kusir kemarin berucap, “Seluruh
jajaran Polri merasa kehilangan. Sebagai sesepuh Polri, almarhum
Soekanto selalu memegang teguh setiap prinsip perjuangan dengan
loyalitas dan dedikasi yang tinggi.”
Bahkan mantan Kapolri Jenderal Pol (Purn) Hoegeng Iman Santoso
yang dikenal sebagai polisi yang lurus pun mengatakan, “Pak Kanto
orang yang patut dicontoh. Dia meletakkan jiwa kepolisian, polisi
harus jujur dan mengabdi masyarakat.”
Menurut Hoegeng yang hadir di pemakaman Tanah Kusir, jasa
Soekanto di kepolisian sangat besar. “Tanpa Pak Kanto, polisi sudah
berantakan,” kata mantan Kepala Kepolisian RI (1968-1971). Hoegeng
bertemu dengan Soekanto ketika ia menjadi siswa sekolah polisi pada
zaman penjajahan Jepang, tahun 1942-1943. “Di zaman Jepang, Pak
Kanto yang jadi instruktur, sudah mendidik kami dengan jiwa
keindonesiaan. Saya ingat, Pak Kanto pernah marah pada saya. Tanpa
kemarahan Pak Kanto, saya tidak begini ini,” tuturnya.
Teman seperjuangannya, Mayjen Pol (Purn) Mohammad Jassin (73),
mantan Deputi Soekanto dan mantan Panglima Mobil Brigade Indonesia
(1952-59) menyebutkan, “Soekanto seorang pejuang besar dan
berdisiplin tinggi. Ia selalu berucap, tanpa disiplin, aparat akan
rusak.”
Deops Kapolri Mayjen (Pol) Koesparmono Irsan yang sempat
dilantik oleh Soekanto ketika jadi taruna polisi di Sukabumi tahun
1959, mengatakan ia mengenal Soekanto dari ayahnya yang juga polisi.
“Dari cerita ayah, Pak Kanto orangnya lurus, selalu berpegang pada
aturan-aturan yang ada, tidak ingin menyimpang sedikit juga.
Kesetiaan kepada bangsa dan negara tak diragukan. Beliau tak suka
bermewah-mewah, kejiwaannya dalam sekali,” kata Koesparmono.
Mantan Kapolri Jenderal Pol (Purn) Mohammad Hasan mengatakan,
“Soekanto seorang polisi bermoral tinggi.” Sedangkan Mayjen Pol
(Purn) Soewondo Pranoto (79), mantan Kepala Polisi Surabaya (1952-
58) menilai, Soekanto sangat percaya pada orang yang sudah
ditunjuknya. “Bawahan yang sudah diberi kepercayaan harus berusaha
sendiri untuk mengerjakan tugas dengan baik dan disiplin,” katanya.
Asrena Polri Mayjen (Pol) Drs Aji Komaruddin, Kapolda Metro
Jaya Mayjen (Pol) Drs Moch Hindarto, mantan Deputi bidang Operasi
Mayjen Pol (Purn) IGM Putera Astaman yang ditanya Kompas terpisah
juga menjawab senada. Mereka mengagumi Said Soekanto sebagai seorang
polisi yang teladan, tak ada duanya. “Dialah teladan dan kebanggaan
Polri.”
Dan seperti kata Kapolri Letjen (Pol) Banurusman, “Adalah beban
bagi segenap jajaran Polri untuk melanjutkan perjuangan almarhum,
dan mewujudkan cita-cita menciptakan polisi yang bersih, berwibawa,
pandai dan modern.” Selamat jalan Pak Said Soekanto…! (adhi ksp)
sumber, Kompas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar